Sistem ahli arsitektur sebagai anak kandung modernitas tak hanya merubah wujud arsitektur, namun lebih dalam lagi merubah pandangan kita terhadap arsitektur dan perlahan menggerogoti tradisi arsitektur kita. Kampung telah menjadi kota baru, dan suasana kehidupan kampung telah menjadi bagian dari masa lalu yang dengannya kita terkadang hanyut dalam kenangan. Kita menginginkan kota yang sekarang, sekaligus mendambakan kampung yang dahulu. Tapi tak ada jalan untuk memutar, tak ada jalan untuk mengembalikan kota menjadi kampung. Modernitas tak akan pernah memberi jalan bagi kita untuk menoleh ke belakang.
Modernitas mendorong arsitektur memasuki pintu tekno-sains. Arsitektur tidak lagi budaya komunal dan sebentuk struktur visual untuk merepresentasikan nilai-nilai luhur masyarakat pembangunnya. Yang tersisa darinya hanya sekedar wujud fisik. Modernitas telah menggenjot perkembangan arsitektur dengan berbagai temuan teknologi canggih bahkan pada beberapa kasus arsitektur menuntut diciptakannya teknologi yang lebih canggih. Arsitektur menjadi seperangkat organisme teknologi yang harus ilmiah, harus obyektif, penuh perhitungan rumit dan istilah asing yang tak mampu dipahami orang awam. Dari ranah sosial yang hangat, proses kelahiran arsitektur beralih ke ruang laboratorium industri yang dingin.
Modernitas yang mendorong arsitektur semakin kompleks berdampak pada sistem ahli arsitektur yang dituntut untuk semakin kompleks pula. Kita sadar, terutama para ahli arsitektur sadar, bahwa kemajuan arsitektur yang semakin kompleks menghadirkan resiko yang semakin menakutkan. Untuk menghadapi resiko, sistem ahli kemudian dipercanggih dengan strata pendidikan yang semakin panjang, pendidikan keprofesian, sertifikasi berjenjang, berbagai asosiasi profesi dan undang-undang keprofesian. Tak lain untuk meminimalkan resiko disebabkan perkembangan arsitektur yang tak lagi dapat dihentikan lajunya selain untuk memastikan kepercayaan kita terhadap kinerja sistem ahli. Kita tidak diberi pilihan selain untuk percaya.