Akhir-akhir ini -perasaan ini bisa jadi merupakan akumulasi dari bertahun-tahun yang lalu- saya jemu mendapati perdebatan seputar teologi di kalangan umat Islam, terutama di media sosial. Misal saja, beranda media sosial saya hampir tidak pernah sepi dengan perdebatan mengenai “Di mana Allah?” “Apakah Allah beristiwa’ di atas Arsy?” “Bagaimana cara Allah beristiwa’ di atas Arys?” Pun untuk beberapa persoalan fikih, saya juga mengalami rasa jemu terkait perdebatan mengenai persoalan hukum mengenakan cadar dan jilbab bagi Muslimah, dan lafadz salam bagi umat Islam.
Saya mencoba mengambil waktu jeda sejenak untuk mengenali perasaan saya dan apa yang menyebabkan munculnya perasaan demikian. Saya sampai pada dua kesimpulan. Pertama, perdebatan mengenai topik teologi dan fikih yang menjadi khusus persoalan umat Islam, tidak tepat dan tidak pantas dilakukan dan ditampilkan di ruang media sosial yang bersifat terbuka dan plural, sehingga siapa pun, termasuk non Muslim dapat mengetahui kekisruhan yang terjadi di tengah umat Islam. Sementara bagi umat Islam yang berstatus awam dan mulai mempelajari agamanya, perdebatan masalah teologi dan fikih yang sangat spesifik dan rumit justru menyebabkan kebingungan, alih-alih memberikan pencerahan. Kedua, di tengah kondisi kehidupan umat Islam dan peradabannya pada masa kontemporer yang diliputi berbagai masalah di seluruh dimensi kehidupan, perdebatan seputar teologi dan fikih yang tidak berpijak pada realitas kehidupan umat Islam dan tidak berpengaruh pada peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, bagi saya tidaklah tepat untuk tidak mengatakannya tidak memiliki daya guna.