Menguliti Pemikiran Harari
Yuval Noah Harari melalui dua magnum opus-nya berjudul Homo Sapiens dan Homo Deus, dikenal dan tengah menjadi buah bibir di kalangan intelektual hingga pembelajar di Indonesia. Sebagiannya menyambut positif pemikiran Harari, sebagian yang lainnya melakukan penolakan. Penolakan terhadap Harari didasari beragam argumentasi. Sebagiannya didasari latarbelakang Harari sebagai seorang Yahudi, penganut Atheisme, dan pelaku homo seksual, sementara sebagian yang lain melakukan penolakan terhadap karya Harari disebabkan ketidaksetujuan terhadap penafsiran sejarah yang disuguhkan Harari di dalam dua bukunya. Pihak pertama yang menolak Harari menilainya sebagai ilmuwan yang tidak beradab, sehingga gagasannya tidak pantas untuk dipelajari apalagi didiskusikan, sedangkan pihak kedua menilai Harari sebagai sejarahwan yang liar dalam penafsiran yang menjadikan karyanya bernilai janggal.
Saya hendak menyoroti lebih jauh kalangan yang mengapresiasi, bahkan mengamini pandangan Harari. Dua hal yang dinilai menarik dari Harari oleh kalangan ini ialah (1) kapasitasnya sebagai sejarahwan yang mampu menarasikan sejarah panjang umat manusia hingga prediksi masa depan eksistensi manusia dengan bahasa populer, sehingga mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun; dan (2) analisa Harari yang mengungkap kemampuan fundamental Homo Sapiens untuk bertahan hidup, yakni berbahasa yang menjadikan manusia mampu berkomunikasi dengan sesamanya, sehingga meniscayaakan terbentuknya komunitas sebagai wadah bagi manusia untuk bekerjasama dalam rangka mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan kekuatan komunal ini, Harari menyatakan, memampukan Homo Sapiens mempertahankan eksistensinya dengan cara menyingkirkan sesama manusia dari jenis berbeda yang dianggap sebagai pesaing dalam hal penguasaan ruang kehidupan dan sumber daya makanan.