Pandemi Covid-19 yang diprediksi tidak akan berakhir dalam waktu dekat, bahkan virus Covid-19 dinilai oleh kalangan ahli tidak akan hilang dalam lingkungan hidup manusia, menuntut manusia melakukan perubahan gaya hidup secara fundamental agar tidak terinfeksi virus yang bertolak dari kaidah (1) menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan; dan (2) menjaga jarak fisik (physical distancing). Inilah yang disebut dengan kehidupan normal-baru (new-normal) karena sepanjang dan pasca pandemi Covid-19 kehidupan manusia tidak akan sama dengan masa sebelumnya hingga ditemukan vaksin yang dapat diakses oleh seluruh umat manusia agar memiliki kekebalan tubuh terhadap virus Covid-19. Tentu saja narasi the new-normal masih bersifat hipotesis dan prediktif, serta merupakan salah satu narasi yang logis dan relevan, selain narasi kembalinya kehidupan manusia pasca pandemi seperti sedia kala bagaikan tidak pernah terjadi pandemi sebelumnya jika saja virus Covid-19 dapat benar-benar hilang dari lingkungan hidup manusia.
Salah satu bidang yang sangat dituntut untuk menyesuaikan dengan narasi kehidupan normal-baru adalah arsitektur dikarenakan lingkup arsitektur yang merupakan lingkungan buatan meliputi ruang kehidupan manusia, selain dikarenakan ketergantungan manusia dengan lingkungan binaan atau lingkungan terbangun dalam kehidupan urban kontemporer akibat dalam kehidupan kesehariannya berjarak dari alam dengan melangsungkan kegiatan di dalam ruang tertutup yang diperlengkapi dengan teknologi untuk memberikan kenyamanan dan keamanan. Kedua hal tersebut; lingkup arsitektur dan ketergantungan manusia pada arsiektur, menjadikan bidang arsitektur memegang peranan penting untuk keberlangsungan kehidupan normal-baru, selain bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Ditinjau dari perspektif Arsitektur Islam, yakni arsitektur yang bersumberkan dari Wahyu, narasi kehidupan normal-baru menekankan pada aspek penjagaan jiwa manusia dilandasi kaidah hifzhul nafs yang merupakan salah satu tujuan ditetapkannya Syariat Islam. Permasalahan ini menuntut kalangan ahli Arsitektur Islam untuk melakukan reorientasi pada dua aspek. Pertama, Arsitektur Islam harus berfokus pada aspek manusia sebagai subyek, tidak lagi pada perwujudan arsitektur sebagai objek dengan berkutat pada unsur arsitektural yang diidentifikasi sebagai khas Islam, seperti kubah, minaret, pelengkung, hingga ornamentasi. Kedua, berfokus pada penjagaan jiwa manusia yang merujuk pada aspek basyar diri manusia, yakni unsur tubuhnya yang bersifat fisik, mendorong orientasi pengkajian dan perancangan Arsitektur Islam untuk bersinergi dengan kalangan ahli dari arsitektur selainnya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap diri manusia dari penularan virus Covid-19. Permasalahan ini merupakan kesempatan bagi kalangan ahli Arsitektur Islam dari umat Islam untuk membuktikan bahwasanya Islam bersifat universal, dan arsitektur yang bersumberkan dari Islam memiliki aspek universal yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia tanpa sekat agama, dengan syarat pewacanaan, pengkajian, dan praktik Arsitektur Islam tidak lagi terbatas berkutat pada aspek-aspek khusus Arsitektur Islam yang menjadi pembeda dengan arsitektur selainnya, seperti persoalan simbolisasi dan identitas.