Kesatuan Ayat Tuhan
Dalam
pandangan seorang Muslim, tidak terdapat kontradiksi antara keberadaan alam dan
Wahyu Tuhan yang disampaikan melalui manusia pilihan. Dalam keyakinan Islam,
keduanya justru berposisi saling melengkapi dan menerangkan sebagai dua entitas
yang diciptakan oleh Tuhan sebagai al-Khaliq dan bersumberkan dari Tuhan
sebagai al-Haqq. Mengutip Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya berjudul
Islamization of Knowledge, alam yang dalam khazanah intelektual Islam disebut
ayat kauniyah dan Wahyu yang
merupakan ayat qauliyah menunjukkan
kesatuan alam secara ontologis dan kesatuan kebenaran secara epistemologis.
Kesatuan
antara alam dan Wahyu memiliki implikasi metodologis. Pertama, Tuhan di dalam ayat qauliyah memerintahkan manusia untuk melakukan pengamatan,
observasi, dan penelitian terhadap ayat kauniyah
yang telah diciptakan oleh Tuhan dengan ukuran-ukuran tertentu. Salah satunya
sebagaimana firman Tuhan dalam Surah Ali-Imran: 190-191 berikut:
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yakni orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi seraya berkata, "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.
Perintah
untuk mengamati alam menandakan kajian terhadap objek tersebut dapat diulangi kapan
pun dan di mana pun dikarenakan ketepatan dan ketetapan ukuran-ukuran dari
Tuhan yang dikenal oleh umat Islam dengan istilah sunnatullah, sebagaimana termuat dalam firman Tuhan dalam Surah
Al-Fath: 23 berikut:
Sebagai
suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi
sunnatullah itu.
Kepastian
sunnatullah yang berlaku sepanjang
zaman sampai Tuhan menetapkannya berbeda sesuai kehendak-Nya, menjadikan
manusia dapat mengilmui alam dan berbagai kajian yang dilakukan umat manusia di
berbagai tempat dan waktu yang berbeda akan sampai pada temuan yang sama.
Dengan demikian alam yang diciptakan Tuhan teruntuk manusia dapat digunakan dan
dimanfaatkan oleh manusia untuk melangsungkan hidup dan membina kehidupan
setelah memahami karakteristik, cara kerja, dan prinsip-prinsipnya, sebagaimana
firman Tuhan dalam Surah Al-Baqarah: 29 dan Al-Mulk: 15 berikut:
Dia-lah
Allah yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dialah Yang menjadikan bumi mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu kembali setelah dibangkitkan.
Kedua,
upaya manusia mengkaji ayat kauniyah
harus disandarkan pada ayat qauliyah
agar dicapai pemahaman yang benar, terutama dalam ranah filosofis. Kesatuan ini
akan membawa manusia pada pemahaman akan ke-maha-an Tuhan pada akhir upayanya
mengilmui alam, sebagaimana firman Tuhan dalam Surah Ali-Imran: 191 yang telah
dikutip di atas. Tuhan lah yang telah menciptakan segalanya, dan Tuhan pula
yang menjadikan segala sesuatu ciptaan-Nya memiliki nilai guna, sehingga
keberadaannya tidaklah sia-sia. Selain itu, dalam Surah Al-Mulk: 15 yang juga
telah dikutip di atas didapatkan pemahaman bahwasanya penciptaan alam merupakan
nikmat dari Tuhan teruntuk manusia.
Sebagai
rangkuman dua poin di atas, pemahaman terhadap Wahyu akan mendorong manusia
untuk melakukan kajian terhadap alam yang dengan hasilnya akan melengkapi
pemahamannya terhadap firman Tuhan. Di sisi lain, pemahaman manusia terhadap
alam diberi pondasi yang kokoh oleh Wahyu sehingga dicapai ilmu yang
komprehensif, luas, dan benar, dan dengan begitu membebaskan manusia dari
pemahaman yang salah terhadap alam ditinjau dari perspektif akidah Islam. Kesatuan
ayat Tuhan menggambarkan ciri khas epistemologi Islam yang tidak memisahkan
antara ilmu agama yang merujuk pada ayat qauliyah
dan sains yang menjadikan ayat kauniyah
sebagai objek kajian. Wahyu mendorong manusia untuk menguasai sains agar dapat
mengilmui dan memanfaatkan alam, kemudian Wahyu mengokohkan pemahaman dan
pemanfaatan alam di atas akidah Islam dan batas-batas yang telah ditetapkan
Tuhan.
Melepaskan
ikatan kesatuan antara alam semesta dan Wahyu akan menjadikan manusia
tergelincir pada dua kesalahan, yakni (1) menempatkan alam sebagai benda mati
yang sama sekali tidak memiliki nilai sakral, sehingga mendorong manusia
melakukan eksploitasi alam secara brutal tanpa pedoman dan batas-batas; atau
(2) menempatkan alam sebagai entitas yang memiliki sifat-sifat ketuhanan,
sehingga manusia beribadah kepada alam yang disangkanya sebagai Tuhan atau
wadah bagi Tuhan untuk menampakkan diri dalam realitas kehidupan dunia. Dengan
kesatuan ayat Tuhan dalam perspektif Islam, alam mendapatkan nilai spiritual
sebagai ciptaan Tuhan yang dalam pemanfaatannya harus berdasar pedoman dan
aturan dari Tuhan.
Dalam
ranah praktik, salah satu kebutuhan manusia terhadap alam untuk melangsungkan
hidup dan membina kehidupan ialah membangun ruang binaan. Manusia menyadari
bahwa dirinya tidak mampu hidup di tengah alam terbuka. Namun demikian, ketidakmampuan
manusia hidup di tengah alam tidak serta merta menjadikannya menjauhi alam dan
melepaskan ikatan dengan alam. Manusia justru mendekati alam untuk mengilmuinya
sebagai keniscayan dari kepastian sunnatullah
alam, dan memanfaatkannya sebagai nikmat dari Tuhan yang disediakan bagi
seluruh umat manusia.
Dalam
proses mengilmui alam manusia membutuhkan kejelasan perihal posisi dirinya di
antara alam dan Tuhan, selain kejelasan mengenai hakikat diri, alam, dan Tuhan
sebagai asas penentuan posisi dan jalinan relasi. Di sinilah ayat qauliyah dibutuhkan manusia, karena
pemikiran spekulatif semata tidak memadai untuk mengenal hakikat dan menetapkan
relasi yang tepat. Pun dalam proses memanfaatkan alam, manusia membutuhkan ayat
qauliyah yang memuat kehendak,
aturan, dan pedoman dari Tuhan. Misal saja perintah dan peringatan dari Tuhan pada
penggalan Surah Al-Baqarah: 60 dan Surah Ar-Ruum: 41 berikut:
Makan
dan minumlah rizki yang diberikan Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Telah nampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar
mereka kembali ke jalan yang benar.
Berbekal
pedoman di atas, manusia akan memanfaatkan alam secara bertanggungjawab untuk
kelestariannya. Setiap pohon yang ia tebang untuk mendirikan bangunan, akan ia
ganti dengan menanam pohon baru agar ekosistem kehidupan tetap terjaga dan
kelak dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Begitu pula setiap kali
manusia mengucap doa saat hujan turun, sebagaimana doa yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
agar berbuah manfaat dan tidak berakhir menjadi bencana alam, ia akan tetap
menyediakan ruang terbuka hijau setiap kali melakukan pembangunan. Mengabaikan
batas-batas dari Tuhan akan menyebabkan kerusakan sebab pemanfaatan alam oleh
manusia tidak selaras dengan karakter air hujan yang meresap ke dalam tanah
untuk menyuburkan alam serta menjadi persediaan air minum bagi hewan dan
manusia.
Dari
perspektif Islam maka pembangunan dengan mengeraskan seluruh permukaan lahan
menunjukkan tidak dipahaminya ayat kauniyah
terkait sunnatullah alam, sekaligus
tidak dipahaminya ayat qauliyah dari
Tuhan. Akibatnya terjadilah berbagai bencana alam, di antaranya banjir, sebagai
buah dari perbuatan manusia. Pada Surah di atas terdapat solusi yang diberikan
Tuhan untuk keluar dari masalah yang disebabkan sendiri oleh tangan manusia,
yakni dengan melakukan taubat kepada Tuhan yang mendorong dirinya memahami ayat
qauliyah dan ayat kauniyah sebagai kesatuan ayat Tuhan
dengan benar. Tanpa langkah ini kerusakan akan terus terjadi yang akan
mengancam keberlangsungan hidup seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
Masjid di Tengah Deras Hujan
Beberapa
waktu belakangan ini Surakarta dan sekitarnya dilanda hujan deras hampir
sepanjang hari tanpa jeda yang berarti. Matahari cenderung muncul hanya pada
pagi hari, itu pun dengan sinar yang tidak terlalu terik, dan perlahan
menghilang seiring memasuki waktu siang berganti awan berwarna hitam
bergelantung tebal. Di tengah kerusakan ekologis yang terjadi, banjir tidak
terhindarkan dan semakin memperburuk cobaan yang dialami masyarakat di tengah
pandemi Covid-19 yang menunjukkan tanda-tanda meningkat kembali.
Yang
menjadi perhatian saya dalam tulisan ini adalah fenomena kehadiran masjid yang
turut menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan sekaligus turut memperluas
dampak yang terjadi. Dua poin tersebut dapat saya jabarkan lebih lanjut. Pertama, masjid tidak
menyediakan area resapan air yang memadai. Dalam pembangunan masjid cenderung
ruang terbuka sebagai area sisa bangunan masjid dikeraskan dengan bahan paving block maupun aspal untuk digunakan
sebagai parkir. Di tengah harga lahan yang terus mengalami kenaikan hingga tak
wajar, tanpa sadar nalar efisiensi-ekonomis mempengaruhi kesadaran umat Islam
dalam pembangunan masjid. Lahan yang telah dibeli tidak dibiarkan sejengkal pun
kosong tanpa mewadahi fungsi, dikarenakan menyisakan lahan untuk ruang terbuka
hijau dianggap tidak patut dan dilegitimasi dengan perangkat agama sebagai
perbuatan mubadzir. Dampaknya masjid
yang pada hakikatnya merupakan rumah Tuhan karena statusnya wakaf tidak
terhindarkan dari bencana banjir. Masjid yang seharusnya menjadi teladan dan merupakan
ruang menumbuhkan harapan bagi para korban, justru terlibat sebagai pelaku sekaligus
korban.
Kedua,
masjid menggunakan unsur arsitektural yang tidak konteks dengan karakter iklim
tropis di Indonesia yang memiliki curah hujan terbilang tinggi. Preferensi
penggunaan unsur arsitektur masjid di Indonesia cenderung diwarnai motif
identitas, seperti penggunaan kubah sebagai penutup atap untuk menunjukkan
identitas universal masjid yang merujuk pada jazirah Arab sebagai awal mula
Islam maupun atap datar sebagai upaya modernisasi identitas masjid agar tidak
terjebak pada tradisionalisme yang beku. Dua jenis atap tersebut tidak sesuai
dengan karakter iklim tropis yang membutuhkan lebihan atap lebar untuk
melindungi ruang dalam agar tidak terkena sinar matahari yang terik maupun
tampias air hujan. Akibatnya ketika musim panas, ruang dalam terasa gerah yang
diantisipasi dengan penggunaan teknologi penghawaan buatan semisal AC. Pada musim
penghujan yang seringkali disertai angin kencang, dinding dan teras masjid,
bahkan ruang utama masjid yang diperuntukkan untuk shalat bagi masjid yang
tidak memiliki teras, terkena tampias air hujan. Akibatnya teras masjid tidak
aman untuk digunakan karena riskan terpeleset, terlebih tekstur lantai teras
terbilang licin dengan tidak mempertimbangkan aspek keamanan pada musim hujan
karena faktor estetika belaka. Karpet shalat pun terpaksa digulung di area ruang
utama yang terkena air hujan, sehingga mengurangi kenyamanan ibadah dan mengurangi
kapasitas jama’ah. Selain itu anggaran perawatan bangunan masjid akan
membengkak karena pengecatan ulang dinding masjid harus lebih sering dilakukan
sebab terpapar terik matahari dan hujan. Belum lagi atap datar dan kubah riskan
bocor yang menuntut disediakannya anggaran lebih untuk dilakukan perawatan
rutin.
Dari
aspek manajemen, dua poin di atas menunjukkan ketidakmampuan masjid mengelola
dana umat. Di satu sisi, dana yang terkumpul di masjid digunakan untuk
melakukan pembangunan yang tidak tepat sehingga berdampak negatif pada
lingkungan dan jama’ah sebagai pengguna masjid. Di sisi lain, anggaran
terbilang besar digelontorkan secara rutin untuk perawatan bangunan masjid
akibat keputusan desain yang tidak sesuai dengan kondisi dan karakter iklim
tropis di Indonesia. Dana yang seharusnya dapat dialokasikan untuk
merealisasikan peran ijtimaiyyah, risalah, dan khidmat, pada akhirnya diorientasikan untuk menjaga kualitas
tampilan bangunan masjid sepanjang tahun.
Mencari
akar penyebabnya dengan merujuk pada bagian pembahasan sebelum ini tidak lain
adalah pemahaman keagamaan umat Islam yang tidak integral. Dalam memahami ayat qauliyah sama sekali tidak melibatkan
ayat kauniyah, sehingga sensitivitas
umat Islam terhadap alam terbilang lemah yang dibuktikan dengan hampir tidak
pernah diselenggarakannya program pendidikan di masjid yang spesifik mengulas
permasalahan lingkungan maupun pengajian yang mengintegrasikan pembahasan agama
dengan alam, apalagi kegiatan komunal yang berorientasi penjagaan terhadap
alam, selain kegiatan bersih-bersih yang itu pun sebatas dilatarbelakangi
kebutuhan akan kenyamanan dan keindahan.
Ironis
memang, masjid yang merupakan simbolisasi iman yang merujuk pada ayat qauliyah mengancam keberlangsungan dan
terancam dari ayat kauniyah, seakan
antara kedua ayat Tuhan saling bertentangan dan meniadakan. Bagi umat Islam,
masalah yang telah saya gelar, bukan semata persoalan teknis yang dapat
diselesaikan dengan pendekatan teknologis, tetapi pertama-tama merupakan
persoalan akidah dengan menyatukan kembali dua ayat Tuhan yang telah
dipisahkan. Mengulangi kembali bagian sebelumnya dari tulisan ini, taubat
merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dan ditindaklanjuti dengan
memahami agama sebagai kesatuan ayat Tuhan. Terakhir, ilmu yang benar mengenai
kesatuan ayat Tuhan menuntut amal yang tepat. Semoga ke depan, pembangunan
maupun perbaikan masjid sebagai rumah Tuhan mengindahkan dan konteks dengan
alam agar dapat menjadi rahmat bagi seluruh ciptaan dan tempat berlindung yang
aman serta nyaman di kala hujan.
Allahu a’lam bishawab
Ditulis di Kartasura.
Jumadil Akhir 1443 H/Januari 2022
Daftar
Rujukan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar